resep membuat brem

CARA pembuatan brem yang masih tradisional seperti yang dilakukan produsen
di Kaliabu sampai satu titik tertentu juga merupakan hambatan. "Kami
sebenarnya ingin berkembang lebih dari sekarang. Tetapi apakah nanti
pemasaran bisa membaik kalau ada modernisasi peralatan, sedangkan mau
menaikkan harga Rp 25/pak saja sudah tak bisa," kata Hadi. Tungku pemasak
pun hidup dari sekam padi, sehingga standar kemasakannya tidak bisa selalu
dipastikan. Akhir-akhir ini para produsen brem mengeluhkan sulitnya mencari
bahan baku ketan putih yang baik. Pengalaman mereka, membeli ketan kepada
pedagang yang telah dikenal sekalipun membawa akibat jatuhnya mutu brem.
"Maklum, dalam sekarung ketan, berasnya bisa sampai seperempat bagian,"
tutur Sumo Tumiran, produsen, menceritakan pengalamannya. Kasimin, produsen
lain, malah punya pengalaman lebih menyedihkan. Dua kuintal tape ketannya
tak bisa diolah menjadi brem. "Jadi kalau ditanya, berapa untung saya dari
usaha ini ya saya jawab ndak tentu. Wong kadang-kadang malah buntung kok,"
lanjut lelaki yang telah merintis usaha membuat brem sejak lima tahun lalu
dan kini memiliki 2-4 karyawan itu. Beberapa produsen brem lebih suka
menanam ketan sendiri di atas sawahnya supaya bahan baku usaha dagangnya
benar-benar terjamin.

***

BEGITULAH, brem yang sejak puluhan tahun lalu diproduksi initernyata tak
juga mampu menaikkan taraf hidup pemilik usaha maupun warga desa setempat.
"Untung bersih dari bahan baku ketan satu kuintal sekitar Rp 10.000," kata
Hadi Yatno. Jadi untuk apa usaha itu dipertahankan? "Sebagai usaha
sampingan saja, selain mengharap omset penjualan daganganya naik pesat,"
jawabnya. Warga Kaliabu boleh berbangga karena nenek moyangnya menciptakan
resep makanan tradisional yang sampai kini masih diproduksi anak cucunya.
Di sisi lain, mereka merasa sedih karena sampai sekarang tak satu pun brem
buatan warga desa setempat telah memiliki hak paten. Brem dari daerah lain
yang konon hasil jiplakan dari Kaliabu, sekarang justru terpajang di
supermarket dengan kemasan lebih menantang dan yang penting sudah memiliki
hak paten. Sampai kapankah warga Kaliabu masih boleh mengaku bahwa brem
memang benar-benar buatan mereka?